Perkuat Pendidikan Humanis di Madrasah dan Pesantren Lombok Barat Nusa Tenggara Barat.
Mataram.garudanews//Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram menggelar kegiatan Sosialisasi Kurikulum Berbasis Cinta.Jumat, pukul 14.00 WITA hingga selesai bertempat di Pondok Pesantren Raudlatus Sibyan NW Blencong, Kecamatan Gunung Sari, Lombok Barat.
Acara ini diikuti oleh100 peserta yang terdiri dari kepala madrasah, operator data madrasah, dan tokoh pendidikan dari berbagai wilayah di NTB.
Kegiatan ini diselenggarakan sebagai langkah memperkenalkan dan menguatkan gagasan kurikulum berbasis cinta, yang menekankan pentingnya pendidikan humanis, inklusif, dan berakar pada nilai kasih sayang dalam membentuk karakter peserta didik.
Di tengah derasnya arus globalisasi dan tantangan era digital, madrasah dan pesantren menghadapi persoalan serius terkait degradasi moral dan karakter anak didik.
Pendidikan sering kali lebih fokus pada aspek kognitif, sementara dimensi afektif dan spiritual kurang mendapat perhatian.
Melihat fenomena tersebut, FTK UIN Mataram mendorong lahirnya kurikulum berbasis cinta sebagai sebuah pendekatan pendidikan yang mengedepankan nilai kasih sayang (rahmah), penghargaan terhadap martabat manusia, dan penanaman akhlak mulia.
Sosialisasi ini bertujuan memberikan wawasan sekaligus motivasi bagi kepala madrasah dan operator untuk menanamkan nilai cinta dalam seluruh aspek pembelajaran.
Acara dibuka dengan resmi oleh Prof. Saparudin, M.Ag (Wakil Dekan I FTK UIN Mataram) Dalam sambutannya, beliau menekankan bahwa kurikulum berbasis cinta bukan hanya sebuah wacana, tetapi harus diimplementasikan dalam kehidupan nyata dunia pendidikan.
“Madrasah dan pesantren harus menjadi benteng moral bangsa. Pendidikan yang berbasis cinta adalah jawaban atas krisis kemanusiaan hari ini.
Melalui pendekatan ini, anak-anak kita tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki empati, kepedulian, dan akhlak mulia,” tegasnya.
Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber utama yang memaparkan perspektif akademik sekaligus kebijakan strategis mengenai kurikulum berbasis cinta.
Dr. H. Sirojul Hadi, M.Pd. (Narasumber Pertama)*Dalam paparannya, Dr. Sirojul menekankan bahwa pendidikan sejatinya adalah proses mencintai dan menumbuhkan cinta.
Guru bukan hanya penyampai materi, tetapi juga teladan kasih sayang bagi murid-muridnya.
“Kurikulum berbasis cinta berarti setiap aspek pembelajaran diselimuti dengan nilai kasih sayang.
Guru hadir sebagai figur yang tidak hanya mengajar, tetapi juga mendampingi, mendengar, dan menumbuhkan potensi anak.
Dengan cinta, belajar akan menjadi pengalaman yang menyenangkan dan bermakna,” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa keberhasilan pendidikan tidak semata diukur dari angka akademik, melainkan dari bagaimana peserta didik menunjukkan perilaku yang lebih santun, peduli, dan bertanggung jawab.
Hj. Lale Syifaun Nufus, M.Far (Anggota Komisi VIII DPR RI) Narasumber kedua, Hj. Lale, menyoroti pentingnya dukungan kebijakan dalam mewujudkan pendidikan berbasis cinta.
Menurutnya, DPR RI mendorong agar madrasah dan pesantren mendapat perhatian serius dari negara, bukan hanya dalam hal sarana prasarana, tetapi juga penguatan kurikulum yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan.
“Pendidikan tidak boleh melahirkan generasi yang kering hati. Kurikulum berbasis cinta adalah sebuah ikhtiar agar madrasah dan pesantren mampu melahirkan generasi yang berakhlak mulia, berjiwa sosial, dan siap menghadapi tantangan zaman. Negara harus hadir untuk mendukung gagasan ini,” tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa penerapan kurikulum berbasis cinta sejalan dengan visi pembangunan pendidikan nasional yang inklusif, adil, dan berpihak kepada semua kalangan, terutama mereka yang berasal dari daerah dan keluarga kurang mampu.
Sesi diskusi interaktif berlangsung hangat. Para peserta mengajukan berbagai pertanyaan terkait penerapan praktis kurikulum berbasis cinta di madrasah maupun pesantren.
Beberapa peserta menyampaikan kekhawatiran mengenai padatnya materi pelajaran yang membuat guru kesulitan menambahkan pendekatan emosional. Menanggapi hal ini, Dr. Sirojul menekankan bahwa kurikulum berbasis cinta tidak harus menambah beban materi, tetapi lebih kepada cara menyampaikan dan membangun relasi antara guru dan murid.
Sementara itu, Hj. Lale menambahkan bahwa aspek penilaian juga perlu direformulasi agar tidak hanya berbasis angka, melainkan juga mencakup indikator sikap, kepedulian, dan keterlibatan sosial siswa.
Banyak peserta mengaku mendapatkan inspirasi baru dari kegiatan ini. Seorang kepala madrasah dari Lombok Barat menyatakan bahwa konsep cinta dalam pendidikan sangat relevan dengan kondisi sosial masyarakat hari ini.
“Kami merasa tercerahkan. Pendidikan sering kali hanya diukur dari ujian dan nilai. Padahal, yang lebih penting adalah bagaimana anak-anak menjadi pribadi yang peduli dan penuh kasih. Kami siap mencoba mengintegrasikan kurikulum berbasis cinta di madrasah kami,” ujarnya.
Seorang operator madrasah juga menambahkan bahwa kegiatan ini memberikan perspektif baru bahwa data dan administrasi madrasah pun harus dikelola dengan semangat cinta, agar benar-benar berpihak pada kesejahteraan peserta didik.
Menutup kegiatan, Prof. Saparudin, M.Ag.kembali mengingatkan bahwa kurikulum berbasis cinta adalah ruh pendidikan Islam.
Ia mengajak seluruh kepala madrasah dan operator untuk tidak hanya berhenti pada wacana, tetapi benar-benar mengimplementasikan gagasan tersebut.
“Pendidikan adalah ladang kasih sayang. Mari kita rawat anak-anak kita dengan cinta, agar mereka tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga penuh kasih kepada sesama. Inilah wajah pendidikan Islam yang sebenarnya,” pungkasnya.
Sosialisasi kurikulum berbasis cinta di Pondok Pesantren Raudlatus Sibyan NW Blencong, Kecamatan Gunung Sari, Lombok Barat, memiliki makna strategis sebagai tonggak awal transformasi pendidikan madrasah dan pesantren di NTB. Kehadiran narasumber akademisi dan anggota DPR RI menjadi bukti pentingnya sinergi antara dunia akademik, praktisi pendidikan, dan pembuat kebijakan.
Lebih dari sekadar konsep, kurikulum berbasis cinta adalah gerakan moral untuk mengembalikan ruh pendidikan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, sesuai dengan nilai-nilai luhur yang diajarkan Al-Qur’an dan sunnah.
Dengan antusiasme peserta dan dukungan berbagai pihak, kegiatan ini diharapkan menjadi awal yang baik untuk penerapan kurikulum berbasis cinta di madrasah dan pesantren. Pendidikan yang berakar pada cinta diyakini akan mampu melahirkan generasi yang berilmu, berakhlak mulia, dan memiliki kepedulian sosial.(ATurmuzi).
Tags
. Pendidikan