Mataram.garudanews//Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN Mataram menggelar kegiatan akademik Stadium Generale dengan tema “Generasi Z di Persimpangan Zaman: Resiliensi dan Strategi Menyongsong Masa Depan.” 21 Oktober 2025.
Acara berlangsung pada Selasa, 21 Oktober 2025 dihadiri oleh civitas akademika, para dosen, serta ratusan mahasiswa dari berbagai program studi di lingkungan FTK UIN Mataram.
Kegiatan dibuka dengan sambutan Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Prof. Dr. H. Maimun, M.Pd. menegaskan pentingnya kesiapan mahasiswa dalam menghadapi perubahan sosial dan teknologi yang begitu cepat.
Beliau mengingatkan bahwa kehidupan saat ini tidak sepenuhnya baik-baik saja, baik dari aspek sosial, moral, maupun lingkungan, sehingga mahasiswa perlu memiliki tiga kemampuan utama:
kemampuan akademik sebagai dasar berpikir ilmiah, kemampuan antisipatif untuk membaca arah perubahan, serta kemampuan orientatif agar mampu menata ulang pola pikir dan kebiasaan belajar sesuai tuntutan zaman.
Sementara itu, Wakil Rektor I UIN Mataram, Prof. Dr. H. Adi Fadli, M.Ag., yang hadir mewakili Rektor UIN Mataram secara resmi membuka kegiatan.
Dalam sambutannya, beliau menyampaikan apresiasi kepada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan atas terselenggaranya kegiatan yang relevan dengan dinamika kehidupan generasi muda.
Ia menekankan bahwa Generasi Z adalah generasi digital yang harus mampu menjaga ketangguhan mental, memiliki literasi teknologi, dan siap bersaing secara global dengan berlandaskan nilai spiritual dan moralitas.
Sesi utama Stadium Generale disampaikan oleh Dr. Abdul Rozak, M.Si., Dosen Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di awal pemaparannya, Dr. Rozak memberikan motivasi kepada mahasiswa agar tidak takut bermimpi besar dan memanfaatkan berbagai peluang beasiswa, termasuk LPDP hingga jenjang doktoral.
Beliau menegaskan bahwa kesempatan belajar terbuka luas bagi siapa pun yang memiliki tekad dan disiplin diri untuk berkembang.
Mengawali penyampaian materi, Dr. Rozak mengutip pesan Ir. Soekarno, “Belajar tanpa berpikir itu tidaklah berguna, tetapi berpikir tanpa belajar itu sangatlah berbahaya.”
Pesan ini, katanya, menjadi dasar penting bagi mahasiswa agar tidak hanya menimba ilmu, tetapi juga berpikir reflektif, kritis, dan kontekstual terhadap realitas zaman.
Selanjutnya, beliau memaparkan materi bertajuk “Era Kehidupan Manusia Saat Ini: Peluang dan Tantangan” yang menggambarkan berbagai fase perubahan peradaban manusia modern dari abad ke-21 hingga era keberlanjutan.
Dr. Rozak menjelaskan bahwa Abad ke-21 memerlukan kompetensi baru sebagaimana direkomendasikan oleh OECD, yakni student agency, literasi digital, dan ketahanan mental.
Dunia kini berada dalam arus Globalisasi, seperti dikemukakan Thomas L. Friedman melalui gagasannya “The World is Flat”, yang menandakan semakin hilangnya batas-batas geografis dalam berbagai bidang kehidupan.
Pada Era Digital atau Information Age, menurut Manuel Castells, manusia hidup dalam network society, struktur sosial yang dibentuk oleh jaringan informasi global.
UNESCO dan OECD menyebut masa ini sebagai digital transformation, yakni pergeseran besar dalam cara manusia bekerja, belajar, dan berinteraksi.
Memasuki Revolusi Industri 4.0, Klaus Schwab dari World Economic Forum (WEF) menjelaskan bahwa dunia kini memasuki gelombang teknologi yang menggabungkan dunia fisik, digital, dan biologis melalui kecerdasan buatan (AI), robotika, Internet of Things (IoT), komputasi awan, manufaktur cerdas, dan bioteknologi.
Tahap berikutnya, yakni Society 5.0 atau Super Smart Society, menambahkan tujuan sosial: menciptakan kesejahteraan warga dan menyelesaikan masalah publik melalui integrasi teknologi dengan nilai kemanusiaan.
Lebih jauh, konsep Anthropocene yang dikemukakan oleh Paul Crutzen (2000) menjelaskan bahwa aktivitas manusia kini menjadi kekuatan geologis yang memengaruhi bumi, seperti jejak karbon, perubahan biogeokimia, hingga mikroplastik yang mencemari lingkungan.
Dr. Rozak kemudian melanjutkan dengan pembahasan tentang Era Digital sebagaimana dikaji dalam buku The Rise of the Network Society (2010) karya Manuel Castells, yang menunjukkan bagaimana kekuasaan dan pengetahuan kini dioperasikan melalui jaringan global berbasis informasi.
Sementara itu, Era Disrupsi, menurut Clayton M. Christensen dalam The Innovator’s Dilemma (1997), menggambarkan bagaimana inovasi teknologi mampu menggantikan sistem lama dengan cara yang tidak terduga dan radikal.
Dalam konteks sosial, muncul Post-Traditionalisme, konsep yang dikembangkan oleh Anthony Giddens dalam Modernity and Self-Identity (1991) serta The Consequences of Modernity (1990), di mana masyarakat mulai bergerak dari tatanan tradisional menuju kehidupan yang lebih reflektif, rasional, dan terbuka terhadap perubahan.
Adapun Post-Modernisme, sebagaimana dijelaskan oleh Jean-François Lyotard dalam The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1979), ditandai oleh ketidakpercayaan terhadap narasi besar tentang kemajuan, rasionalitas, dan kebenaran tunggal.
Berlanjut pada Era Post-Truth, Lee McIntyre dalam Post-Truth (2018) menyebut bahwa zaman ini ditandai oleh tiga gejala: erosi otoritas ilmiah dan meningkatnya relativisme epistemik, dominasi media sosial yang menciptakan echo chambers dan filter bubbles, serta manipulasi emosional oleh aktor politik melalui algoritma informasi.
Sebagai penutup, Dr. Rozak menguraikan Era Sustainability sebagaimana ditegaskan oleh The Lancet Commission (2021), yang menyoroti pentingnya kolaborasi lintas generasi untuk mencapai keseimbangan antara kemajuan teknologi dan kesejahteraan sosial.
Masa depan peradaban, tegasnya, hanya dapat bertahan jika manusia mampu mengelola inovasi secara beretika dan berkelanjutan.
Kegiatan Stadium Generale berlangsung interaktif dan inspiratif. Mahasiswa terlihat antusias mengikuti pemaparan serta aktif dalam sesi tanya jawab.
Melalui kegiatan ini, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Mataram menegaskan komitmennya untuk menyiapkan generasi muda yang tangguh, berdaya saing global, dan memiliki kepekaan sosial di tengah tantangan era modern.(A Turmuzi)

